Panggung Mbengung (di muat Magelang Ekspres, 26 Februari 2015)

panggung mbengung Bangunan itu berbentuk seperti menara air, menjulang tinggi, di sebelah utara terminal Kebon Polo. Walau sudah suntuk dilahap usia, besi-besinya masih kokoh, sekrup dan bautnya masih lekat saling menggigit, saling mengunci. Dan di ujung atas sana, itulah pusat kedigdayaannya. Situs sejarah peninggalan Belanda, yang sudah ratusan tahun ini—pada waktu itu—akan mengeluarkan bunyi “mbengung”, seperti seekor harimau yang nggereng (menggeram). Merupakan pertanda, bahwa sebentar lagi akan terjadi sesuatu yang “luar biasa,” bisa berupa: bencana alam (gunung meletus), atau serangan dari pasukan Belanda. Sehingga masyarakat sekitar, masih punya tempo untuk mengungsi atau menyingkir ke tempat yang lebih aman.

Memperingati Hari Pers Nasional (HPN) yang ke-30, menggugah sekelompok kecil masyarakat, untuk tidak hanya mengucapkan “selamat ulang tahun” di mulut, namun juga membuahinya dalam bentuk “upacara kecil.” Bapak-bapak berpakaian adat Jawa, lengkap dengan sorjan dan blangkon. Ibu-ibu, juga cantik dan anggun memakai kebaya. Anak kecil berdandan, dan siap menari. Beberapa sesaji dibawa, kidung dan langgam Jawa mulai dikumandangkan. Puisi, yang adatnya diapresiasi di dalam gedung magrong-magrong, di atas panggung penuh ruah, dikeploki penonton parlente, dan digantungi titel: acara dahsyat; kali ini, dirapal sambil berjalan kaki, di alam terbuka, senyap dari decak kagum, tidak ada yang menyaksikan. Mengiringi rombongan kecil warga kampung, menyusuri pinggir kali, sederhana.

Tidak ada sponsor untuk meyokong acara itu, betul, tidak ada! Tidak terlihat satu umbul-umbul atau banner pun yang ditambatkan. Segala “uga rampe” adalah urunan dari warga. Jauh dari musik hingar-bingar, jedak-jeduk, dan kerling birahi genit para sexy dancer. Di tengah genangan Tsunami budaya pop, mungkin mereka perkecualian, berani menyempal dari arus besar yang rakus memuja wadak (tampilan fisik). Sambil terus melangkah, batin saya tergetar, tertekuk, mengikuti ritual budaya ini. Panas menyengat diubun-ubun, namun kalbu sejuk, luruh dan adem.

Jurnalisme dibungkam

 Beberapa kawan wartawan, nampak kusak-kusuk, namun mimik serius. Usut punya usut, ternyata mereka baru saja mengalami “perlakuan tidak menyenangkan,” tatkala meliput sebuah acara besar di alun-alun! Nyaris tidak percaya, bagaimana mungkin di zaman demokrasi yang selalu ditepuk-sorak berbagai kalangan ini, pers kembali mengecap perlakuan semacam itu? Apalagi, bertepatan dengan ulang tahun mereka (Hari Pers Nasional)?

Sejenak angan saya seperti ditarik ke belakang, berkelebatlah sebuah buku yang beberapa hari lalu tandas saya baca. Adalah Seno Gumiro Ajidarma, ketika itu menjadi pimpinan redaksi Koran Jakarta-Jakarta, sedang meliput (lebih mafhumnya investigasi, tentang insiden Dili, Timor-Timur). Kenyataan pekat, dan tindakan primitif aparat terhadap warga, begitu membetot, mengaduk-aduk, kententraman batinnya. Ia tidak bisa memejamkan mata berhari-hari, peristiwa itu terus berputar-putar, melesat, berseliweran, di batok kepala, minta dituliskan. Akhirnya, “nekad” ia beberkan di koran.

Apa yang terjadi kemudian? Terjadilah keguncangan besar (apalagi masih zaman Orba), sungguh-sungguh dibutuhkan “nyali besar dan kecerdikan” untuk memuat berita bombastis, yang bisa menyodok semua pihak tersebut. Berbagai media dan kantor berita internasional (termasuk The Guardian dan salah satu divisi Human Rights Watch di Amerika, NGO Internasional), mengutip langsung. Sebelum merembet kemana-mana, pihak pemerintah dan Dewan Pers segera bertemu. Singkat cerita, pada akhir, Seno Gumiro Ajidarma, beserta 2 temannya, diberi “terapi istimewa.” Ada yang dipindah ke media lain, ada yang di nonaktifkan.

Tak surut langkah, seorang Seno, kembali menyajikan racikan obsesi dibenak; tetap melantangkan fakta, dengan menyublim (merubah bentuk). Jadilah Trilogi seputar Insiden Dili, itulah: Saksi Mata (kumpulan cerpen), Jazz, Parfum & Insiden (roman), dan Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (kumpulan esai); buku yang baru saja kita “bedah” isinya.

Pers dan Sastra

 Tak terasa, perjalanan rombongan kecil kami, telah sampai di tempat puncak acara, yaitu : Panggung Mbengung! Beberapa penampil bergulir, dari ketua RT, yang nampak terbata-bata dan grogi membaca tulisan di depan para wartawan; puisi : Pena Wartawan, karya Es Wibowo, yang dibacakan seorang pemuda tanggung dengan datar dan senyum simpul; 3 orang ibu-ibu muda, yang mengajak menyanyi dan berjoged ria; diakhiri dengan bersalaman, sembari mengucapkan selamat ulang tahun. Kontras sekali, bila “hajatan besar sebelah” mengusir wartawan, perayaan kecil yang cuma “sekelas RT” ini—saya melihat dengan mata kepala sendiri—berbanding terbalik, memuliakan sebisanya, betul-betul mikul dhuwur.

Pers dan sastra, adalah saudara kembar siam, selayak mimi lan mintuna; yang selalu keket raket, runtang-runtung rerentengan, kemana-mana menapak langkah beriring-iringan, saling menopang. Tatkala pers dilakban hitam menyilang—harusnya—kasusastran wajib berteriak, meneruskan. Namun, bagaimana jika sedang “sakit,” bahkan saya pernah menuliskan: “Matinya Keampuhan Sastra” (Magelang Ekspres, 6/2/2015)?

Ketiwasan lagi, bagaimana jika pers dan sastra, kedua-duanya, sungguh-sungguh berkalang tanah, tinggal menanti tabur bunga? Tapi tunggu dulu, masih ada Panggung Mbengung, benar, masih ada Panggung Mbengung! Panggung ini akan membunyikan tanda bahaya, akan mbengung, memberi tanda pada rakyat; untuk mengungsi, menyingkir, atau bila tidak sempat lagi, minimal : bisa berdoa. Karena bila pers dan sastra, sudah dikebumikan, maka “kelihatannya,” harapan untuk hidup lebih sejahtera, lebih tenteram dan makin beradab, sudah hilang terbawa angin. Musnah.

Maka, bila ada yang terpanggil, dan dipundaknya ditumpuki gelar menjadi : pers, jurnalis, penyair, sastrawan, budayawan, seniman, aktivis mahasiswa, dan juga aktivis dalam bidang apapun; yang masih “malu-malu” (untuk tidak menyebutnya takut), mewartakan dan melontarkan “pembelaan kepada yang papa dan tertindas,” kita undang untuk datang, rawuh, dan “mengaku dosa” di Panggung Mbengung.

 

 (*) Penulis : Agung Pramudyanto

Esais dan Pendiri Pamulang

(Paguyuban Pembaca dan Penulis Magelang)

Tentang agungpramudyanto

Penulis sosial, seni, budaya
Pos ini dipublikasikan di menulis dan tag , , , , , , , , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar