Sebenarnya, saya mau memberi judul esai ini : Eyang Sarpin. Namun, setelah bertemu dengan seorang tokoh, yang masih keukeuh dengan budaya dan adat Jawa, beliau menyarankan kata “eyang “ diganti dengan kata “kakek.” Saya terdiam sejenak, tercenung, akhirnya, lalu mengangguk.
Kata “kakek,” dalam ranah Bahasa Indonesia, mempunyai padanan kata (sinonim), yaitu : opa, engkong, embah, aki, eyang. Tetapi, akan sangat berbeda, bila hal itu (baca : kata-kata tersebut), dibenamkan dalam jagad Bahasa Jawa; dimana, tiap patah kata, mengandung cabar/arti sendiri; dan juga memiliki “kelas/strata” makna masing-masing.
Sebagai misal, kata : “makan.” Dalam susunan bahasa nasional kita (juga Inggris), mengandung arti yang sama, juga kelas/strata yang sama. Kita dengan enteng dan tanpa beban, akan mudah mengatakan : “Saya dan Bapak sedang makan.” Namun, “bisakah” kita mengucapkan kata yang sama dalam susunan Bahasa Jawa?
Mungkin jawaban-nya : bisa! Namun, bagaimana dengan kebeningan jiwa dan kepekaan perasaan kita, sebagai orang Jawa? Mungkin, jika terpaksa, kita memang bisa mengucapkannya. Tapi, pasti dengan perasaan kikuk, muka merah padam, dan segumpal perasaan “ora ilok,” tidak patut, tidak sopan; yang merayap, merembes keluar. Entah kenapa, ada seteguk perasaan tidak nyaman, saya juga tidak mengerti, apa itu?
Kejadian seperti itu, lebih kondang di sebut : unggah-ungguh, suba-sita, solah-bawa, tata-krama. Dalam imaji rakyat kebanyakan (nasional, umum), berdirilah dengan sebutan : sopan-santun, etika, etiket, moral, tata-laku, atau nilai-nilai luhur yang hidup subur, dan berlaku mahakuat dalam hidup sehari-hari. Memang, kadang “tidak tertulis,” tapi, kedahsyatan, efek dan pengaruhnya; sangat jauh melebihi dan melampaui “yang tertulis.”
Makna dan Rasa Kata
Kembali ke kata “ kakek.” Kata ini, entah kenapa, ternyata dimaknai lebih negatif, cenderung lekat dengan “dunia hitam.” Tengok saja judul film/buku misteri, sebutlah : Kakek Gayung, Kakek Peot, Kakek Dukun, Kakek Buta, Kakek Pincang, Kakek Jenglot, dan lainnya. Kata “kakek” disini, dibumikan sebagai seorang lelaki tua renta, kulit hitam kotor, pakaian compang-camping, tubuh tidak terawat (bau, jorok). Ditangannya, melingkar gelang akar bahar, kadang ada cincin batu akik di jari-jarinya. Mulutnya tak henti merapal mentera, sambil menghisap rokok klobot jagung, bau dupa kemenyan. Berkalung tulang-belulang, wajah kumal menyeramkan, berikat kepala, dan berjalan menggunakan tongkat kayu lusuh.
Bila ada “order/pesanan,” baik dari pejabat, pemerintah, pengusaha, atau orang kuat lain; sang kakek tidak akan segan-segan mengeluarkan segenap ilmu kesaktiannya, demi memenangkan dan meyenangkan hati tuan pemesan. Walau kemudian, akibatnya akan menyengsarakan “musuh” dan rakyat banyak, ia tidak ambil pusing! Baginya hidup adalah tentang berdagang, memuja laba/rabat, perlombaan memburu rente. Tidak ada kata “setia” apalagi “loyalitas sampai mati,” siapa yang mampu membayar lebih, mampu menyorongkan tingkat kenikmatan inderawi lebih; ia adalah tuannya, Ia adalah majikannya, ia adalah junjungannya. Titik.
Berlainan dengan kata “eyang.” Sosok ini, menjelma sebagai antitesa sang kakek. Seorang bersurban putih, bijaksana, pakaian putih-putih, rambut putih, tangannya memegang tasbih, mulut komat-kamit, terus berdoa, walau (juga) berjalan menggunakan tongkat.
Bila rakyat atau penduduk mendapat sambikala (gangguan/cobaan yang berat)–maka–mereka akan naik ke gunung, berusaha menemui “sang eyang,” guna mendapat petunjuk atau bantuan. Tak jarang, pada pengujung akhir, sang kakek dan sang eyang, akan berhadap-hadapan, muka dengan muka, bertempur habis-habisan, hingga menemui ajal.
Menjadi Begawan
Puncak yang “dianggap” tertinggi, dalam struktur tingkatan manusia adalah Begawan, atau mahaguru, atau Pandhita, atau orang tua. Untuk sampai pada posisi ini, sangat tidak gampang, bukan sembarangan. Seorang Begawan, dianggap mempunyai kesucian hati dan pikiran untuk dapat menghubungkan diri dengan Sang Pangeran (Tuhan). Penampilannya sederhana namun penuh ketenangan, sinar matanya welas asih, mata batin sangat peka, menangkap getaran-getaran ilahiah.
Hidupnya “sudah selesai” dengan masalah kedagingan. Sebagai misal : harta-benda; seorang Begawan tidak akan pusing lagi untuk memburu dan menumpuk kekayaan, sudah selesai! Hidupnya akan dihabiskan dengan sederhana, penuh kesahajaan. Tentang masalah “hiruk pikuk duniawi,” perselisihan antara satu dengan yang lain, perebutan kekuasaan, iri dengki, hingga perang yang berdarah-darah; termasuk ancaman yang bisa mencabut nyawanya; sang Begawan, sekali lagi, tidak pernah jeri, apalagi surut langkah.
Justru sang Begawan “hadir,” menjadi juru terang, solusi ampuh, rujukan akhir; untuk menyelesaikan tiap ontran-ontran, dengan mengeluarkan “fatwa/sabda” yang tegas; namun pada ujungnya, terbangunlah suatu keadaaan yang tenang, teduh, menentramkan, dan lebih beradab.
Ketika seorang dianggap “sudah sampai” pada tingkatan Begawan–namun–masih haus dan dahaga; selalu “mencari celah,” mendapat gebyuran dan guyuran banda donya; sebenarnya, “statusnya” dipertanyakan. Ketika jiwanya masih mudah birahi, menelan dan menyantap segepok kertas, bisa membeli apapun, untuk menandaskan dan memuaskan syahwat; yang terus berputar-putar disekitar perutnya; maka keampuhanya bisa sirna. Dan, ketika ia masih takut dengan keselamatan dirinya (baca : nyawanya), sehingga bisa memutar-balikan fatwa/sabda, walaupun bertentangan dengan bisik lirih nurani dirinya, jerit lemah rakyat dibawahnya; maka, sekali lagi, ia belum layak menyandang gelar : Begawan!
Begawan dalam Bahasa Jawa juga disebut “orang tua,” atau eyang. Sehingga seorang : Sarpin Rizaldi, yang baru saja memutus perkara praperadilan; dengan segala argumen yang lemah, cenderung serong, membuta dan menuli terhadap nilai-nilai dan arus besar rakyat–saya berpendapat–belum layak disebut “eyang.”
Ia masih seorang “kakek.” Sungguh, semoga bukan kakek buruk rupa, penyihir, yang menunggang sapu lidi dan kemana-mana membawa palu.
*) Penulis : Agung Pramudyanto
Esais dan Pendiri Pamulang
(Paguyuban Pembaca dan Penulis Magelang)