Mengurai Epistemologi Koruptor

Rumah Filsafat

7340723_happy-75th-birthday-hayao-miyazaki_tfe704e5c rackcdn.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Unika Widya Mandala Surabaya, Doktor Filsafat dari Universitas Filsafat Muenchen, Jerman

Mantan Rektor Universitas Airlangga Surabaya, Fasichul Lisan, kini ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK terkait dengan pendirian RS Unair. Bukti-bukti sudah mencukupi untuk menetapkan dia sebagai tersangka. Tentu saja, asas praduga tak bersalah tetap harus dipegang. Orang harus dianggap tak bersalah, sampai ia sungguh terbukti sebaliknya.

Lepas dari apa yang sesungguhnya terjadi, pertanyaan mendasar, tentang mengapa orang korupsi, tetap menarik perhatian banyak kalangan. Ini terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lainnya. Masalahnya bukan adanya korupsi, tetapi tingkat korupsi yang mengkhawatirkan, sehingga menghambat seluruh proses pembangunan lainnya. Proses perluasan pendidikan, fasilitas kesehatan dan pengentasan kemiskinan menjadi terhambat, akibat tingkat korupsi yang amat besar.

Lihat pos aslinya 484 kata lagi

Dipublikasi di Tak Berkategori | Meninggalkan komentar

Antara Hidup, Kejernihan dan Keputusan

Rumah Filsafat

Talking_Hands-1358533360l absolutearts.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Berulang kali saya mendengar keluhan dari keluarga dan teman, bahwa hidup ini sulit. Hidup ini berat untuk dijalani. Jadi orang baik, kita justru hidup miskin dan susah. Jadi koruptor dan pemeras, kita justru bisa kaya dan ternama. Hidup ini tidak adil, begitu kata mereka.

Pandangan semacam ini diperkuat oleh lagu Hidup Adalah Perjuangan yang dinyanyikan oleh grup band Dewa. Hidup dilihat sebagai perjuangan tanpa henti-henti. Banyak penyesalan dan harapan yang patah arang. Apakah seperti itu? Apakah ini pandangan yang sesuai dengan kenyataan sebagaimana adanya?

Lihat pos aslinya 591 kata lagi

Dipublikasi di Tak Berkategori | Meninggalkan komentar

“Mengapa”, “Apa” dan “Bagaimana”?

Dialektika Pembuatan Keputusan Oleh Reza A.A Wattimena Hidup kita diisi dengan berbagai pilihan. Beberapa pilihan bernilai amat penting. Ia menentukan arah hidup kita selanjutnya. Beberapa pilihan …

Sumber: “Mengapa”, “Apa” dan “Bagaimana”?

Dipublikasi di Tak Berkategori | Meninggalkan komentar

Alamat e-mail media Resensi Buku 2015

Salam Literasi!Hasil gambar untuk resensi buku

Berikut nama-nama media, alamat e-mail, karakter; yang menerima resensi buku..

semoga bergu

na ya.. smile emoticon

No Nama Koran Alamat Email Jumlah Halaman Keterangan

1. SKH Kedaulatan Rakyat
(Pustaka, Minggu) resensikrm@yahoo.com 1 hlm-1,5 hlm Dikirim dengan melampirkan identitas diri, cover buku, dan halaman sejarah buku.

2. Suara Merdeka
(Rak, Selasa) swara_sensi@yahoo.com 4.500-5.000 karakter Dikirim dengan melampirkan identitas diri dan cover buku

3. Jateng Pos (Minggu) jatengpos@yahoo.co.id dan jatengpos@gmail.com 4.500 karakter sda

4. Kompas (Minggu) opini@kompas.co.id dan opini@kompas.com

5. Jawa Pos (Minggu) ttg@jawapos.co.id 5.000 karakter sda
6. Radar Surabaya (Minggu) horizon@radarsby.com 5.000 karakter sda

7 Koran Jakarta
(Senin s.d Sabtu) Opinikoranjakarta@yahoo.co.id 4.000 karakter sda, menggunakan identitas pendidikan formal atau pendidikan terakhir

8. Malang Post (Minggu) redaksi@malang-post.com 5.000 karakter sda

9. Koran Madura (Jum’at) opini.koranmadura@gmail.com 4.000 karakter sda

10. Majalah Luar Biasa (terbit setiap bulan) redaksi@majalahluarbiasa.com 2.500 karakter sda

11. Bisnis Indonesia (Minggu) redaksi@bisnis.co.id 4.500-5.000 karakter sda

12. Harian Bhirawa (Pustaka, Jum’at) harian_bhirawa@yahoo.com 5.000 karakter sda

13. Tribun Jogja (Minggu) redaksi@tribunjogja.com 4.000-5.000 karakter sda

14. Riau Post (Minggu) amin_ripos@yahoo.com 5.000 karakter sda

15. Harian Singgalang (Minggu) hariansinggalang@yahoo.co.id 5.000 karakter sda

16. Koran Sindo (Minggu) ranggarai@yahoo.com 5.000 karakter sda
17. Harian Nasional (Book Review, Minggu) bookreview@harian-nasional.com 5.000 karakter sda

18. Koran Pendidikan (terbit setiap pekan) koran.pendidikan@gmail.com 5.000 karakter sda

19. Kabar Probolinggo (setiap hari) redaksi.kabarprobolinggo@yahoo.com dan redaksi.kabarprobolinggo@gmail.com 4.000-5.000 karakter sda

20. Satelit Post (Minggu) opinipembaca_satelitpost@yahoo.co.id 5.000 karakter sda

21. Kabar Madura (setiap hari) kabarsastrabudaya@gmail.com 5.000 karakter sda

NB: Yang disebutkan di atas hanya beberapa koran yang menerima resensi. Biodata peresensi meliputi nama lengkap, identitas diri, alamat lengkap, no handphone atau telepon dan/ no rekening khusus yang berhonor

‪#‎dari‬ berbagai sumber

Dipublikasi di resensi buku | Tag , , | Meninggalkan komentar

Panggung Mbengung (di muat Magelang Ekspres, 26 Februari 2015)

panggung mbengung Bangunan itu berbentuk seperti menara air, menjulang tinggi, di sebelah utara terminal Kebon Polo. Walau sudah suntuk dilahap usia, besi-besinya masih kokoh, sekrup dan bautnya masih lekat saling menggigit, saling mengunci. Dan di ujung atas sana, itulah pusat kedigdayaannya. Situs sejarah peninggalan Belanda, yang sudah ratusan tahun ini—pada waktu itu—akan mengeluarkan bunyi “mbengung”, seperti seekor harimau yang nggereng (menggeram). Merupakan pertanda, bahwa sebentar lagi akan terjadi sesuatu yang “luar biasa,” bisa berupa: bencana alam (gunung meletus), atau serangan dari pasukan Belanda. Sehingga masyarakat sekitar, masih punya tempo untuk mengungsi atau menyingkir ke tempat yang lebih aman.

Memperingati Hari Pers Nasional (HPN) yang ke-30, menggugah sekelompok kecil masyarakat, untuk tidak hanya mengucapkan “selamat ulang tahun” di mulut, namun juga membuahinya dalam bentuk “upacara kecil.” Bapak-bapak berpakaian adat Jawa, lengkap dengan sorjan dan blangkon. Ibu-ibu, juga cantik dan anggun memakai kebaya. Anak kecil berdandan, dan siap menari. Beberapa sesaji dibawa, kidung dan langgam Jawa mulai dikumandangkan. Puisi, yang adatnya diapresiasi di dalam gedung magrong-magrong, di atas panggung penuh ruah, dikeploki penonton parlente, dan digantungi titel: acara dahsyat; kali ini, dirapal sambil berjalan kaki, di alam terbuka, senyap dari decak kagum, tidak ada yang menyaksikan. Mengiringi rombongan kecil warga kampung, menyusuri pinggir kali, sederhana.

Tidak ada sponsor untuk meyokong acara itu, betul, tidak ada! Tidak terlihat satu umbul-umbul atau banner pun yang ditambatkan. Segala “uga rampe” adalah urunan dari warga. Jauh dari musik hingar-bingar, jedak-jeduk, dan kerling birahi genit para sexy dancer. Di tengah genangan Tsunami budaya pop, mungkin mereka perkecualian, berani menyempal dari arus besar yang rakus memuja wadak (tampilan fisik). Sambil terus melangkah, batin saya tergetar, tertekuk, mengikuti ritual budaya ini. Panas menyengat diubun-ubun, namun kalbu sejuk, luruh dan adem.

Jurnalisme dibungkam

 Beberapa kawan wartawan, nampak kusak-kusuk, namun mimik serius. Usut punya usut, ternyata mereka baru saja mengalami “perlakuan tidak menyenangkan,” tatkala meliput sebuah acara besar di alun-alun! Nyaris tidak percaya, bagaimana mungkin di zaman demokrasi yang selalu ditepuk-sorak berbagai kalangan ini, pers kembali mengecap perlakuan semacam itu? Apalagi, bertepatan dengan ulang tahun mereka (Hari Pers Nasional)?

Sejenak angan saya seperti ditarik ke belakang, berkelebatlah sebuah buku yang beberapa hari lalu tandas saya baca. Adalah Seno Gumiro Ajidarma, ketika itu menjadi pimpinan redaksi Koran Jakarta-Jakarta, sedang meliput (lebih mafhumnya investigasi, tentang insiden Dili, Timor-Timur). Kenyataan pekat, dan tindakan primitif aparat terhadap warga, begitu membetot, mengaduk-aduk, kententraman batinnya. Ia tidak bisa memejamkan mata berhari-hari, peristiwa itu terus berputar-putar, melesat, berseliweran, di batok kepala, minta dituliskan. Akhirnya, “nekad” ia beberkan di koran.

Apa yang terjadi kemudian? Terjadilah keguncangan besar (apalagi masih zaman Orba), sungguh-sungguh dibutuhkan “nyali besar dan kecerdikan” untuk memuat berita bombastis, yang bisa menyodok semua pihak tersebut. Berbagai media dan kantor berita internasional (termasuk The Guardian dan salah satu divisi Human Rights Watch di Amerika, NGO Internasional), mengutip langsung. Sebelum merembet kemana-mana, pihak pemerintah dan Dewan Pers segera bertemu. Singkat cerita, pada akhir, Seno Gumiro Ajidarma, beserta 2 temannya, diberi “terapi istimewa.” Ada yang dipindah ke media lain, ada yang di nonaktifkan.

Tak surut langkah, seorang Seno, kembali menyajikan racikan obsesi dibenak; tetap melantangkan fakta, dengan menyublim (merubah bentuk). Jadilah Trilogi seputar Insiden Dili, itulah: Saksi Mata (kumpulan cerpen), Jazz, Parfum & Insiden (roman), dan Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (kumpulan esai); buku yang baru saja kita “bedah” isinya.

Pers dan Sastra

 Tak terasa, perjalanan rombongan kecil kami, telah sampai di tempat puncak acara, yaitu : Panggung Mbengung! Beberapa penampil bergulir, dari ketua RT, yang nampak terbata-bata dan grogi membaca tulisan di depan para wartawan; puisi : Pena Wartawan, karya Es Wibowo, yang dibacakan seorang pemuda tanggung dengan datar dan senyum simpul; 3 orang ibu-ibu muda, yang mengajak menyanyi dan berjoged ria; diakhiri dengan bersalaman, sembari mengucapkan selamat ulang tahun. Kontras sekali, bila “hajatan besar sebelah” mengusir wartawan, perayaan kecil yang cuma “sekelas RT” ini—saya melihat dengan mata kepala sendiri—berbanding terbalik, memuliakan sebisanya, betul-betul mikul dhuwur.

Pers dan sastra, adalah saudara kembar siam, selayak mimi lan mintuna; yang selalu keket raket, runtang-runtung rerentengan, kemana-mana menapak langkah beriring-iringan, saling menopang. Tatkala pers dilakban hitam menyilang—harusnya—kasusastran wajib berteriak, meneruskan. Namun, bagaimana jika sedang “sakit,” bahkan saya pernah menuliskan: “Matinya Keampuhan Sastra” (Magelang Ekspres, 6/2/2015)?

Ketiwasan lagi, bagaimana jika pers dan sastra, kedua-duanya, sungguh-sungguh berkalang tanah, tinggal menanti tabur bunga? Tapi tunggu dulu, masih ada Panggung Mbengung, benar, masih ada Panggung Mbengung! Panggung ini akan membunyikan tanda bahaya, akan mbengung, memberi tanda pada rakyat; untuk mengungsi, menyingkir, atau bila tidak sempat lagi, minimal : bisa berdoa. Karena bila pers dan sastra, sudah dikebumikan, maka “kelihatannya,” harapan untuk hidup lebih sejahtera, lebih tenteram dan makin beradab, sudah hilang terbawa angin. Musnah.

Maka, bila ada yang terpanggil, dan dipundaknya ditumpuki gelar menjadi : pers, jurnalis, penyair, sastrawan, budayawan, seniman, aktivis mahasiswa, dan juga aktivis dalam bidang apapun; yang masih “malu-malu” (untuk tidak menyebutnya takut), mewartakan dan melontarkan “pembelaan kepada yang papa dan tertindas,” kita undang untuk datang, rawuh, dan “mengaku dosa” di Panggung Mbengung.

 

 (*) Penulis : Agung Pramudyanto

Esais dan Pendiri Pamulang

(Paguyuban Pembaca dan Penulis Magelang)

Dipublikasi di menulis | Tag , , , , , , , , , , , , | Meninggalkan komentar

Kakek Sarpin (Dimuat Magelang Ekspres, 20 Februari 2015)

sarpin 2Sebenarnya, saya mau memberi judul esai ini : Eyang Sarpin. Namun, setelah bertemu dengan seorang tokoh, yang masih keukeuh dengan budaya dan adat Jawa, beliau menyarankan kata “eyang “ diganti dengan kata “kakek.” Saya terdiam sejenak, tercenung, akhirnya, lalu mengangguk.

Kata “kakek,” dalam ranah Bahasa Indonesia, mempunyai padanan kata (sinonim), yaitu : opa, engkong, embah, aki, eyang. Tetapi, akan sangat berbeda, bila hal itu (baca : kata-kata tersebut), dibenamkan dalam jagad Bahasa Jawa; dimana, tiap patah kata, mengandung cabar/arti sendiri; dan juga memiliki “kelas/strata” makna masing-masing.

Sebagai misal, kata : “makan.” Dalam susunan bahasa nasional kita (juga Inggris), mengandung arti yang sama, juga kelas/strata yang sama. Kita dengan enteng dan tanpa beban, akan mudah mengatakan : “Saya dan Bapak sedang makan.” Namun, “bisakah” kita mengucapkan kata yang sama dalam susunan Bahasa Jawa?

Mungkin jawaban-nya : bisa! Namun, bagaimana dengan kebeningan jiwa dan kepekaan perasaan kita, sebagai orang Jawa? Mungkin, jika terpaksa, kita memang bisa mengucapkannya. Tapi, pasti dengan perasaan kikuk, muka merah padam, dan segumpal perasaan “ora ilok,” tidak patut, tidak sopan; yang merayap, merembes keluar. Entah kenapa, ada seteguk perasaan tidak nyaman, saya juga tidak mengerti, apa itu?

Kejadian seperti itu, lebih kondang di sebut : unggah-ungguh, suba-sita, solah-bawa, tata-krama. Dalam imaji rakyat kebanyakan (nasional, umum), berdirilah dengan sebutan : sopan-santun, etika, etiket, moral, tata-laku, atau nilai-nilai luhur yang hidup subur, dan berlaku mahakuat dalam hidup sehari-hari. Memang, kadang “tidak tertulis,” tapi, kedahsyatan, efek dan pengaruhnya; sangat jauh melebihi dan melampaui “yang tertulis.”

Makna dan Rasa Kata

Kembali ke kata “ kakek.” Kata ini, entah kenapa, ternyata dimaknai lebih negatif, cenderung lekat dengan “dunia hitam.” Tengok saja judul film/buku misteri, sebutlah : Kakek Gayung, Kakek Peot, Kakek Dukun, Kakek Buta, Kakek Pincang, Kakek Jenglot, dan lainnya. Kata “kakek” disini, dibumikan sebagai seorang lelaki tua renta, kulit hitam kotor, pakaian compang-camping, tubuh tidak terawat (bau, jorok). Ditangannya, melingkar gelang akar bahar, kadang ada cincin batu akik di jari-jarinya. Mulutnya tak henti merapal mentera, sambil menghisap rokok klobot jagung, bau dupa kemenyan. Berkalung tulang-belulang, wajah kumal menyeramkan, berikat kepala, dan berjalan menggunakan tongkat kayu lusuh.

Bila ada “order/pesanan,” baik dari pejabat, pemerintah, pengusaha, atau orang kuat lain; sang kakek tidak akan segan-segan mengeluarkan segenap ilmu kesaktiannya, demi memenangkan dan meyenangkan hati tuan pemesan. Walau kemudian, akibatnya akan menyengsarakan “musuh” dan rakyat banyak, ia tidak ambil pusing! Baginya hidup adalah tentang berdagang, memuja laba/rabat, perlombaan memburu rente. Tidak ada kata “setia” apalagi “loyalitas sampai mati,” siapa yang mampu membayar lebih, mampu menyorongkan tingkat kenikmatan inderawi lebih; ia adalah tuannya, Ia adalah majikannya, ia adalah junjungannya. Titik.

Berlainan dengan kata “eyang.” Sosok ini, menjelma sebagai antitesa sang kakek. Seorang bersurban putih, bijaksana, pakaian putih-putih, rambut putih, tangannya memegang tasbih, mulut komat-kamit, terus berdoa, walau (juga) berjalan menggunakan tongkat.

Bila rakyat atau penduduk mendapat sambikala (gangguan/cobaan yang berat)–maka–mereka akan naik ke gunung, berusaha menemui “sang eyang,” guna mendapat petunjuk atau bantuan. Tak jarang, pada pengujung akhir, sang kakek dan sang eyang, akan berhadap-hadapan, muka dengan muka, bertempur habis-habisan, hingga menemui ajal.

Menjadi Begawan

 Puncak yang “dianggap” tertinggi, dalam struktur tingkatan manusia adalah Begawan, atau mahaguru, atau Pandhita, atau orang tua. Untuk sampai pada posisi ini, sangat tidak gampang, bukan sembarangan. Seorang Begawan, dianggap mempunyai kesucian hati dan pikiran untuk dapat menghubungkan diri dengan Sang Pangeran (Tuhan). Penampilannya sederhana namun penuh ketenangan, sinar matanya welas asih, mata batin sangat peka, menangkap getaran-getaran ilahiah.

Hidupnya “sudah selesai” dengan masalah kedagingan. Sebagai misal : harta-benda; seorang Begawan tidak akan pusing lagi untuk memburu dan menumpuk kekayaan, sudah selesai! Hidupnya akan dihabiskan dengan sederhana, penuh kesahajaan. Tentang masalah “hiruk pikuk duniawi,” perselisihan antara satu dengan yang lain, perebutan kekuasaan, iri dengki, hingga perang yang berdarah-darah; termasuk ancaman yang bisa mencabut nyawanya; sang Begawan, sekali lagi, tidak pernah jeri, apalagi surut langkah.

Justru sang Begawan “hadir,” menjadi juru terang, solusi ampuh, rujukan akhir; untuk menyelesaikan tiap ontran-ontran, dengan mengeluarkan “fatwa/sabda” yang tegas; namun pada ujungnya, terbangunlah suatu keadaaan yang tenang, teduh, menentramkan, dan lebih beradab.

Ketika seorang dianggap “sudah sampai” pada tingkatan Begawan–namun–masih haus dan dahaga; selalu “mencari celah,” mendapat gebyuran dan guyuran banda donya; sebenarnya, “statusnya” dipertanyakan. Ketika jiwanya masih mudah birahi, menelan dan menyantap segepok kertas, bisa membeli apapun, untuk menandaskan dan memuaskan syahwat; yang terus berputar-putar disekitar perutnya; maka keampuhanya bisa sirna. Dan, ketika ia masih takut dengan keselamatan dirinya (baca : nyawanya), sehingga bisa memutar-balikan fatwa/sabda, walaupun bertentangan dengan bisik lirih nurani dirinya, jerit lemah rakyat dibawahnya; maka, sekali lagi, ia belum layak menyandang gelar : Begawan!

Begawan dalam Bahasa Jawa juga disebut “orang tua,” atau eyang. Sehingga seorang : Sarpin Rizaldi, yang baru saja memutus perkara praperadilan; dengan segala argumen yang lemah, cenderung serong, membuta dan menuli terhadap nilai-nilai dan arus besar rakyat–saya berpendapat–belum layak disebut “eyang.”

Ia masih seorang “kakek.” Sungguh, semoga bukan kakek buruk rupa, penyihir, yang menunggang sapu lidi dan kemana-mana membawa palu.

 

 *) Penulis : Agung Pramudyanto

Esais dan Pendiri Pamulang

(Paguyuban Pembaca dan Penulis Magelang)

Dipublikasi di menulis | Tag , , , , , , , , | Meninggalkan komentar

Suro Diro Jayaningrat (dimuat Magelang Ekspres, 13 Februari 2015)

suro 2Pada tahun 1981, publik sempat terhentak, dihebohkan dengan sebuah karya masterpiece, tentang dunia batin seorang wanita Jawa, yang berjenema: Pengakuan Pariyem. Akhir-akhir ini, publik kembali disambar, tersentak kaget, melongo, hingga kepala makin puyeng; bukan dengan sebuah maha karya sastra besutan Linus Suryadi AG lagi, namun sebuah drama di jagad perpolitikan bangsa ini, yang kita sebut saja : Pengakuan Hasto!

Berangkat dari pengajuan calon tunggal Kapolri oleh Jokowi, yang menerobos, menerabas, bablas, zonder melewati pos KPK dan PPATK; diketahui sahih sebagai awal “tarian pembuka,” carut-marut tragedi yang sampai detik ini, masih ber-seri, belum berujung. Adu jaya kawijayan (tenaga, kesaktian), antara KPK dan Polri-pun makin seru. Saling melepas panah “tersangka” ke bahu masing-masing, penangkapan dan pemborgolan yang heroik, membuat hati rakyat was-was, ketar-ketir. Belum selesai nafas ini dibuat terengah-engah, kembali, publik dibuat terkejut, mata berkedip-kedip tak percaya; seorang Hasto, membuat kesaksian yang (sekali lagi) menghantam Abraham Samad. Rakyat cuma bisa gedek-gedek, kepala makin berat. Benaknya makin ruwet.

Jokowi, yang digadang-gadang sebagai pemimpin yang lahir dari rakyat, mendengar suara rakyat; terkesan mengulur-ulur waktu, bertele-tele, mendekati lamban, lambat. Apakah benar demikian?

Kisah Nyai Pamekas

 Dalam “Serat Witaradya” ditulis R Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873)–seorang pujangga besar Kasunanan Surakarta–ada sebuah cerita yang melegenda. Tersebutlah Raden Citrasoma (Putra Mahkota Prabu Aji Pamasa, Raja Kerajaan Witaradya), yang beranjak dewasa, kasmaran dan gandrung, dengan istri bawahannya (Tumenggung Suralathi), yang bernama : Nyai Pamekas.

Perempuan ini memang istimewa, dianugerahi kecantikan luar biasa, baik wadak (fisik) maupun batin-nya. Siapapun ketika itu, bila memandangnya, akan kesengsem (jatuh cinta). Karena sudah bersuami, sang pangeran tidak berani terang-terangan, segera memutar otak, mengatur siasat.

Suatu hari, suami Nyai Pamekas diutus keluar kerajaan, ya, kesempatan tiba. Segera sang pangeran menghampiri “pujaan hatinya,” dan menyatakan cinta yang berkobar-kobar; bahkan lebih dari itu, hendak melampiaskan syahwat tidak senonoh! Nyai Pamekas, sebagai seorang istri yang setia, dan rajin nggula-wentah (merawat dan meruwat) batin, segera tanggap ing sasmita, tahu diri. Bila melawan dengan kekerasan, maka ia akan berhadapan dengan kekuasaan dan hukum (putra mahkota), juga bisa membuat sang pangeran kewirangan (malu berat); bila dituruti, maka ia adalah istri yang mengkhianati sang suami.

Akhirnya, dengan “tekad dan niat yang benar,” namun tetap memakai “bahasa dan tutur kata yang lembut,” Nyai Pamekas, berhasil: menyentak, membuyarkan, memurnikan kesadaran sang pangeran; dari rubungan nafsu sesat sesaat.

Wong Cilik

Dari seorang anak desa, yang tinggal di bantaran kali, hidup yang serba susah dan kecingkrangan (kekurangan), sering digusur kesana-sini; bagi Jokowi, bukanlah suatu “dunia yang lain.” Aroma keringat orang miskin, kulit tangan orang desa, kekhawatiran, kecemasan, suasana kebatinan yang dihirup; masuk, menyatu kesemua pori-pori dan pembuluh darahnya—saya rasa—tidak mudah undur, urung, dan terbang, melesat keluar dari jiwa ringkih-nya.

Dalam kosmologi orang Jawa, dikenal derajad dan pangkat. Bila derajad-nya kuat (kapasitas, daya pikir, keilmuan, kesaktian), maka pangkat (jabatan, level hidup) akan mengikuti. Menjadi Walikota Solo, tentu berbeda derajad dan pangkatnya dengan Gubernur DKI, apalagi Presiden RI; bukan perkara mudah, sungguh, tidak gampang.

Menjadi orang paling wahid seantero negeri, menjadi Panglima Tertinggi Darat, Laut dan Udara; dimana tiap kata yang dituturkan bisa membuat nasib jutaan rakyat jadi abang atau ijo; tentu tidak boleh silap mata, tergopoh-gopoh, ceroboh. Disamping warisan masalah presiden sebelumnya yang bertumpuk, nyaris karatan; sangat “tidak adil” bila kita ingin semua beres dalam sekejap—sak dek sak nyet—apalagi diukur “hanya” dari pencapaian seratus hari. Bagai judul film yang pernah ngetop, tahun 1987, sutradara Dedi Setiadi : Vonis Kepagian!

Menjamah Hati

 Perang tanding antara KPK dan Polri, tidaklah sesederhana, tidaklah seremeh-temeh, tidaklah segampang penyelesaiannya; seperti yang dikidungkan para pengamat politik partikelir. Kisah itu bukan seperti roman picisan, yang akan tamat, hanya karena sang presiden menggunakan fatwa atau menjatuhkan perppu. Saya berpendapat, tidak seperti itu. Bila memang “seperti itu,” bukankah presiden sebelumnya juga pernah mengalami kisah yang sama? Dan, bukankah juga sudah mengeluarkan sabda pandhita ratu, tan kena wola-wali? Tapi, mengapa kisah yang tidak menarik hati ini, berulang lagi?

Kisah ini, muskil berdiri sendiri. Ada banyak kisah pembuka, kisah yang menyertai, kisah yang sekedar numpang lewat, juga kisah sebenarnya yang masih gulita dan pasti ber-seri; entah akan sampai seri berapa, dahi saya mengkerut. Bersemuka, bertabrakan, dan saling kait-mengkait; berlaksa tujuan dan kepentingan yang makin carut marut, menyuguhkan sebuah gambar buram, siapa yang memanfaatkan dan siapa yang dimanfaatkan, makin samar.

Saya percaya, sebagai orang jawa, yang karib dengan filosofi dan olah batin; Jokowi akan “berbeda” dalam menyelesaikan “akar tiap masalah,” dan tidak hanya “memotong dan memperban permukaan,” seperti polah para pendahulunya. Dijawilnya Tim 9, “laku nyepi” dengan “mengembara sesaat” ke negeri tetangga—saya yakin—adalah sarana menjauhkan diri dari “keramaian dan desakan publik,” yang sangat bernafsu merong-rongnya.

Kini, sekembali dari peziarahan batin-nya; rakyat mendamba, sang Raja segera memperagakan “ilmu barunya” yang pasti lebih ngedap-edapi. Seperti salah satu bait “Pupuh Kinanthi” yang mengisahkan Nyai Pamekas, bahwa sekuat-kuatnya gelojoh syahwat angkara murka, pasti bisa rebah, lumer, dan bertekuk lutut; dengan kasih, kelembutan dan kesabaran. Lebur dening pangastuti.

 

 (*) Penulis : Agung Pramudyanto

Esais dan Pendiri Pamulang

(Paguyuban Pembaca dan Penulis Magelang)

Dipublikasi di menulis | Tag , , , , , , , , | 2 Komentar

Akar dari Segala Kejahatan

Rumah Filsafat

cllctr.com cllctr.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di Jerman

Tahun 2015, Eropa kembali diancam oleh perang besar. Pasukan Russia terus merapatkan barisan di perbatasan Ukraina. Ukraina, dalam aliansi dengan NATO dan Uni Eropa, juga mempersiapkan pasukannya di perbatasan. Jika konflik terjadi, maka yang perang akan melebar ke seluruh negara Uni Eropa, bahkan ke berbagai negara di benua lainnya. Perang dunia ketiga kini di depan mata kita.

Kelompok bersenjata Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) juga terus melakukan teror di Timur Tengah. Negara-negara sekitarnya, seperti Yordania, Arab Saudi dan Turki, sudah mempersiapkan pasukan untuk menyerbu kelompok ini. Konflik bersenjata dalam skala besar nyaris tak dapat lagi dihindari. Semakin banyak orang akan masuk ke dalam penderitaan, akibat perang dan konflik bersenjata lainnya.

Pada skala yang lebih kecil, beragam jenis kejahatan juga menciptakan penderitaan bagi begitu banyak orang. Pengedar narkoba beserta pengaruh politis maupun ekonomis dari…

Lihat pos aslinya 1.085 kata lagi

Dipublikasi di Tak Berkategori | Meninggalkan komentar

Politik Jeroan

Rumah Filsafat

ambonekspres.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat, Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di Bonn, Jerman

Ada ungkapan unik untuk menggambarkan hasil kerja orang-orang Jerman. Mereka memang bukan produsen utama Apple Computer yang desainnya indah dan mesinnya kuat. Mereka juga tidak ikut pada perlombaan produksi Smartphone, bersama Korea, Taiwan, dan Amerika Serikat, yang saat ini sedang gencar terjadi di dunia. Mereka jauh dari glamor dunia.

Memang, mereka punya BMW, VW, dan Mercedes. Namun, jika dibanding General Motors miliki Amerika, yang memproduksi Chevrolet, Buick, Cadillac, dan beberapa merk lainnya, perusahaan-perusahaan mobil Jerman termasuk relatif kecil. Namun, ada satu kelebihan mereka, yakni mereka memproduksi komponen-komponen utama setiap mesin yang membuat mobil-mobil tersebut.

Dengan kata lain, mereka tidak memproduksi tampilan luar dari suatu produk, melainkan jeroannya, yakni komponen-komponen dalam dan amat penting, yang membuat semua mesin itu bisa memproduksi barang-barang canggih. “Orang-orang Jerman membuat benda-benda yang ada di dalam mesin yang…

Lihat pos aslinya 528 kata lagi

Dipublikasi di Tak Berkategori | Meninggalkan komentar

Jerman, Mobil dan Mobilitas

Rumah Filsafat

automobile.de automobile.de

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Unika Widya Mandala Surabaya, Sedang belajar di Jerman

Siapa yang tidak kenal BMW? Atau VW, Volkswagen? Siapa juga yang tidak pernah mendengar merk mobil Audi? Ini adalah merk-merk mobil Jerman yang sudah memiliki reputasi internasional.

Mobil-mobil Jerman memang terkenal karena tiga hal, yakni kualitas, prestise dan harganya yang mahal. Perusahaan-perusahaan mobil di Jerman, mulai dari tingkat perakitan struktur kaki mobil sampai dengan direktur utama, memang amat menekankan ketepatan, guna menghasilkan mobil bermutu tinggi. Namun, mereka juga tidak kebal terhadap iklim persaingan ekonomi global, terutama dari AS, Jepang dan Cina. Dalam banyak hal, perusahaan-perusahaan mobil Jerman pun harus melakukan kompromi, bahkan seringkali menurunkan kualitas, supaya bisa menjual dengan harga yang lebih murah.

Jerman dan Mobilnya

Ekonomi Jerman hancur total setelah perang dunia kedua. Pada 1945, politik Jerman juga lumpuh total. Orang-orang Jerman bisa hidup, karena semata menerima bantuan dari tentara Sekutu (Inggris, AS, Prancis…

Lihat pos aslinya 1.280 kata lagi

Dipublikasi di Tak Berkategori | Meninggalkan komentar